Wakil Ketua KPK Saut Situmorang |
Goasianews.com
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim sebagai tersangka korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang divonis 15 tahun penjara atas kasus korupsi BLBI.
Saut mengatakan, sesuai pertimbangan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor terhadap Syafruddin, hakim menyatakan adanya kerugian keuangan negara Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim.
Kerugian keuangan negara itu merupakan selisih antara kewajiban yang belum diselesaikan Sjamsul sebesar Rp 4,8 triliun dengan hasil penjualan piutang oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA) tahun 2007 sebesar Rp 220 Miliar.
"Dikarenakan tersangka SJN (Sjamsul) diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus korupsi ini, KPK akan memaksimalkan upaya asset recovery agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara," ujar Saut dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (10/6/2019).
Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, kasus ini bermula saat BPPN dan Sjamsul menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998.
Dalam MSAA tersebut disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset.
Secara total, kewajiban Sjamsul Mursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI adalah Rp 47,258 triliun. Kewajiban tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp 18,85 triliun, termasuk diantaranya pinjaman kepada petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun.
"Aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan SJN (Sjamsul) seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi," kata Syarif.
Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan meminta menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut. Namun Sjamsul menolak.
Syarif menerangkan, pada Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan pihak Sjamsul yang diwakili Itjih Nursalim serta pihak lain. Pada rapat itu, Itjih menyampaikan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi.
Kemudian pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (dihapusbukukan) namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul.
Ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.
"Setelah melalui beberapa proses, meskipun Ratas tidak memberikan persetujuan, namun pada 12 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung dan ITN menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya berisikan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA," kata Syarif.
Tak hanya itu, pada 26 April 2004, Syafruddin juga menandatangani surat mengenai Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul. Hal ini mengakibatkan hak tagih atas utang petambak dipesena menjadi hilang atau hapus.
Pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA).
Pada 24 Mei 2007, PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp 220 miliar.
"Padahal nilai kewajiban SJN yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun. Sehingga, diduga kerugian Keuangan negara yang terjadi adalah sebesar Rp 4,58 triliun," kata Syarif. (fr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar