"new normal" Sudah Pantaskah Diberlakukan..? - Go Asianews

Breaking


Rabu, 20 Mei 2020

"new normal" Sudah Pantaskah Diberlakukan..?


Goasianews.com
Jakarta - Pemerintah mewacanakan new normal atau memulai aktivitas masyarakat secara normal meskipun krisis akibat pandemi virus corona atau covid-19 belum berakhir. Aktivitas tersebut rencananya mulai diterapkan pada akhir Mei 2020.

Hal ini dilakukan untuk memulihkan produktivitas masyarakat yang sempat menurun akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) demi mencegah penularan virus tersebut.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, wacana ini tengah dikaji dengan matang agar langkah yang diambil nantinya tidak keliru. Untuk itu, katanya, belum diketahui kapan sebetulnya new normal akan diberlakukan.

"Pak Presiden menekankan kami bersiap siaga menjalani era normal baru, kehidupan normal baru. Pak Presiden telah menetapkan perlu kajian cermat dan terukur, serta melibatkan banyak pihak untuk persiapkan tahap-tahap pengurangan PSBB," ucap Muhadjir, Senin (18/5).

Namun, Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal ragu akan keberhasilan kebijakan new normal. Secara sederhana, menurutnya, kebijakan ini tidak tepat dilakukan dalam waktu dekat.

Menurutnya, alasan utama pemberlakuan new normal karena berakhirnya masa puncak kasus virus corona di Indonesia belum ada. Ia mengatakan ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi ketika pemerintah ingin menggerakkan lagi aktivitas ekonomi masyarakat secara normal.

Masalahnya, kabar yang beredar justru menyebutkan new normal akan dilakukan pada pengujung Mei 2020. Periode ini, justru merupakan prediksi puncak peningkatan kasus virus corona di Indonesia.

Ia menilai kalau pemerintah memaksakan diri menerapkan rencana itu, justru akan mengkhawatirkan. Sebab, peningkatan aktivitas masyarakat akibat kebijakan itu bisa berpotensi menambah jumlah kasus virus corona di dalam negeri.

"Kunci utamanya ekonomi bisa jalan kalau pandemi berakhir. Semakin lama pandemi atau semakin banyak jumlah kasus, waktu ekonomi bisa berjalan efektif akan semakin lama pula, begitu juga untuk pulih," ucap Fithra.

Agar kebijakan tersebut tak jadi dilakukan, ia mengingatkan pemerintah soal berulangnya kasus Flu Spanyol (Spanish Flu). Flu tersebut mulanya tak ditanggapi dengan serius.

Namun kemudian, virus itu menjadi wabah yang berlangsung dari kurun waktu Maret 1918 sampai Juni 1920. Kasus virus ini pun diperkirakan menjangkiti sekitar 50 sampai 100 juta orang di dunia.

Berkaca dari itu, kalau pemerintah memaksakan diri memberlakukan kehidupan normal seperti sedia kala, ia khawatir dampaknya ke ekonomi justru bisa buruk. Kebijakan bisa membuat realisasi pertumbuhan jatuh lebih buruk dari skenario terburuk yang sudah banyak diperkirakan oleh berbagai lembaga saat ini.

Menurut analisisnya, bila pandemi corona mencapai puncak pada Juni-Juli dan 'bersih' di September 2020, maka setidaknya ekonomi Indonesia akan berada di skenario terburuk minus 0,08 persen.

"Tapi bila new normal dipercepat dan kasus justru bertambah, dampaknya bisa lebih buruk, bahkan dua kali lebih buruk dari proyeksi sebelumnya," ungkapnya.

Kendati begitu, ia tidak menutup mata bila new normal mungkin memang diharapkan sebagian masyarakat. Khususnya, mereka yang bergantung pada penghasilan harian yang telah lama menganggur karena virus corona.

Hanya saja, syarat kasus sudah melewati puncak dan melandai tetap jadi yang utama untuk menerapkan kebijakan new normal. Toh, beberapa negara yang akhirnya membuka lockdown dan menjalankan aktivitas ekonomi lagi justru menghadapi penambahan kasus positif.

Karenanya, menurut Fithra, seharusnya pemerintah mempertimbangkan pasti dampak tersebut. Keraguan lain adalah new normal dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.

"Saat ini saja PSBB, masyarakat belum cukup disiplin, masih banyak yang bandel. Jadi siapa yang bisa menjamin nanti bisa kondusif saat aktivitas dibuka lagi dan pemerintah bisa atasi. Bila kasus bertambah, bagaimana fasilitas kesehatan yang dipersiapkan?" imbuhnya.

Di luar syarat kasus melewati puncak dan melandai, Fithra bilang, new normal sejatinya hanya bisa dilakukan dengan pengecualian dampak bisnis yang ketat. Artinya, industri yang bisa berjalan lagi hanyalah yang tertentu saja.

"Jadi pertimbangannya harus matang dan benar-benar memiliki risiko dampak yang minim kepada ekonomi, tapi efektif untuk menggerakkan ekonomi lagi," ujarnya.

Menurutnya, beberapa industri yang bisa bergerak lebih dulu ketika new normal diberlakukan adalah wisata, perdagangan dan jasa, serta transportasi. Dari sisi wisata, turis domestik tentu menjadi hal yang bisa dimainkan lebih dulu untuk bisa menimbulkan geliat ekonomi, khususnya di daerah.

Lalu, perdagangan dan jasa juga bisa membuat aktivitas masyarakat secara menyeluruh bergerak dan menghasilkan ekonomi instan, khususnya bagi masyarakat kecil. Kemudian, transportasi jadi kebutuhan utama para pekerja dan turis lokal.

"Sementara sektor yang belum tetap bisa bergerak meski sudah new normal adalah investasi. Karena investor cenderung masih akan menahan diri," jelasnya.

Senada, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad juga melihat new normal belum semestinya diberlakukan pemerintah saat ini karena jumlah pertambahan kasus yang masih cukup tinggi. Saat ini, setidaknya 400 kasus positif virus corona bertambah setiap hari.

"Kalau nanti diberlakukan new normal, khawatirnya nanti tidak efektif dampaknya ke ekonomi dan kasus bertambah, lalu pemerintah akan terapkan lagi PSBB. Ini jadi maju mundur yang membuat pemulihan ekonomi justru lebih lama," katanya.

Menurutnya, bila new normal diberlakukan dampak pemulihan ekonomi pun belum tentu lebih cepat apalagi sampai bisa mengembalikan laju perekonomian Indonesia ke kisaran 5 persen pada 2021. Hal ini masih tampak cukup mustahil.

Tauhid memandang sekalipun new normal diberlakukan pada akhir Mei 2020 seperti kabar yang beredar di publik dampak ekonominya kemungkinan baru terasa di kuartal IV 2020. Sementara pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tahun tetap berada di angka minus pada tahun ini.

"Mungkin bisa tumbuh 1 persen sampai 2 persen, tapi hanya di kuartal IV saja," imbuhnya.

Pasalnya, ketika new normal diberlakukan secara efektif pun, daya angkat industri terhadap perekonomian tidak akan sekuat ketika sebelum pandemi corona terjadi. Hal ini karena new normal diberlakukan dengan protokol kesehatan yang ketat, di mana physical distancing tetap perlu dilakukan.

Hal ini, katanya, sudah pasti akan membuat produktivitas industri tidak mencapai tingkat sebelum pandemi karena pekerja berusia di atas 45 tahun tidak bisa masuk. Hal ini akan mempengaruhi struktur pekerja di perusahaan-perusahaan.

Belum lagi, jumlah pekerja akan lebih sedikit dalam menjalankan aktivitas produksi. Sementara sektor industri yang mungkin tetap bisa tumbuh cukup baik dan memberi sumbangan ke ekonomi adalah industri yang berbasis teknologi dalam jaringan (online) dan pemasaran digital.

"Lebih ke jasa tersier, sementara industri jasa yang seperti hotel rasanya akan tetap sulit, tetap lebih rendah dari sebelum pandemi terjadi," tuturnya.

Untuk itu, ia meminta pemerintah benar-benar melakukan kajian matang soal skenario dan dampak new normal kepada kesehatan masyarakat dan perekonomian. Jangan sampai jumlah kasus justru bertambah dan membuat pemulihan ekonomi kian lama untuk Indonesia.
(agt/ CNN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di www.goasianews.com, Terima kasih telah berkunjung.. Semoga anda senang! Tertanda Pemred:
-->