Pancasila dan Cita-Cita Kemanusiaan - Go Asianews

Breaking


Senin, 01 Juni 2020

Pancasila dan Cita-Cita Kemanusiaan


Pancasila dan Cita-Cita Kemanusiaan
oleh: 
Muhammad Adlan Nawawi

Goasianews.com
Jakarta - Di tengah hiruk-pikuk proses pendirian identitas Indonesia pada masa revolusi, berbagai elemen fondasi kebangsaan mulai dibangun. Salah satunya adalah dasar negara yang kemudian mewujud sebagai Pancasila. Terlepas dari serangkaian perdebatan ideologis ataupun asumsi "pemaksaan" kehendak yang disinyalir hadir dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokritsu Zyunbi Tyoosaki) pada 1 Juni 1945, bangsa ini butuh suatu dasar filosofis negara (philosofische grondslag) yang sekaligus menjadi cita-cita ideal-filosofis yang memayungi kemajemukan bangsa.

Karena itu, bisa dipahami jika kala itu Sukarno mengkritik perdebatan yang hanya berkisar pada tafsiran parsial ideologis atas berbagai sila dalam Pancasila. Ia menegaskan pentingnya fundamen filsafat, pikiran dalam, jiwa hasrat yang di atasnya didirikan "gedung" Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. 

Tarik ulur gagasan dan pemikiran antara kaum nasionalis-muslim dengan nasionalis-sekular bagi Sukarno hanya serangkaian perdebatan artifisial dan tidak substantif. Sementara bangunan kebangsaan menghendaki sebuah konsep yang bersifat universal yang bisa menjadi tumpuan, tujuan, dan cita-cita bersama.

Sebagai sebuah prinsip, gagasan ideal-filosofis Pancasila tidak menutup mata terhadap berbagai tafsiran baru dan kritik ideologis, karena ia hanyalah sebagai weltanschauung berbangsa dan bernegara, spirit dan tempat tujuan bersama yang mampu mengikat rasa persatuan dan kesatuan.

Butiran Universal

Para pendiri negeri ini sangat memahami kondisi bangsa saat itu. Di tengah realitas kehidupan yang majemuk dengan aura ideologis dan identitas keagamaan yang begitu menonjol, tidaklah relevan untuk mengambil pilihan salah satu ideologi atau identitas dengan mengesampingkan yang lainnya. Mereka memadukan berbagai gagasan, pemikiran, dan kepentingan dengan mengatasnamakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Poin kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan sosial, dan ketuhanan merupakan butiran-butiran universal yang mengarah pada cita-cita ideal-filosofis. Pancasila tidak bekerja pada ranah simbolik, melainkan substantif. Agama tidak diperankan semata-mata secara simbolik dalam kekuasaan, Indonesia pun bukan negara agama, melainkan negara yang beragama.

Butir-butir Pancasila memberi agama peran universal. Nilai-nilai universal itu mewujud dalam perilaku kehidupan melampaui doktrinnya sendiri. Dalam konteks ajaran Islam, Pancasila memadukan hubungan sesama manusia (hablun minannas), persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah), sekaligus persaudaraan sesama warga negara (ukhuwah wathaniyah).

Inilah pesan yang selaras dengan konsep maqasid al-syariah (tujuan-tujuan syariat) yang melampaui (beyond) doktrin keagamaan demi kemaslahatan umat manusia. Karena, memang pada dasarnya syariat atau agama bertujuan untuk membangun kehidupan yang baik bagi umat manusia (rahmatan lil alamin). Hal inilah yang melatarbelakangi salah satu organisasi terbesar Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama bisa menerima keputusan politis Orde Baru yang mengharuskan organisasi-organisasi sosial dan agama menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

Pancasila menempatkan agama sebagai katalisator perubahan, dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan nilai-nilai universal keagamaan. Agama berperan dalam dimensi moralitas serta etisnya yang membenci kekerasan, ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, dan penyangkalan terhadap hak-hak asasi manusia. Pancasila menyatukan perjuangan dan nilai-nilai bersama sesuai dengan kehendak agama.

Oleh karena itu, Pancasila harus tetap menjadi pandangan hidup dan bukan semata ideologi pemersatu (common platform). Pancasila merupakan "dokumen politik" dan harus dilihat sebagai kontrak sosial, sebuah konsensus atau persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara. Ia adalah kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan daripada sekadar sebuah ideologi. Menempatkannya sekedar sebagai ideologi berpotensi untuk mengembalikan masa-masa suram era Orde Baru yang menjadikannya objek kepentingan pragmatis kekuasaan. Alih-alih sebagai pemersatu, justru pemicu konflik internal dalam masyarakat yang majemuk.

Sedang Diuji

Ada kecenderungan sebagian kalangan muslim untuk selalu bernostalgia dengan sejarah masa lalunya. Masa-masa kejayaan Islam yang dipenuhi dengan simbol terus-menerus diagungkan, kendati substansi pengamalan ajarannya terpinggirkan. Islam tidak dihadirkan sebagai sebuah cita-cita, namun simbol yang dipenuhi romantisme.

Pesan-pesan moral al-Quran menjadi kerdil setelah terepresentasi secara politis. Pemikiran seperti ini kurang memahami relevansi dan tujuan bangunan syariat itu sendiri. Sebagai nilai yang tidak lekang oleh zaman (shalih li kulli zaman), Islam hanya bisa terwujud jika pemeluknya memegang teguh elan vital, spirit, atau core value ajarannya.

Kehadiran Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa meneruskan semangat ajaran Islam yang sejalan dengan universalitas kemanusiaan. Politik Islam adalah artikulasi cita-cita ideal Islam, bukan formalisasi syariat sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah Islam; menekankan relevansi, bukan berarti melupakan sejarah. Sejarah Islam menjadi referensi sikap dan kebijakan, sementara cita-cita ideal merupakan tujuan bersama agama dan bangsa.

Dengan logika kemaslahatan umat, kemaslahatan bersama, kita dapat menaruh harapan besar pada butiran-butiran Pancasila yang mampu menjamin tegaknya agama (hifdl al-din), amannya jiwa (hifdl al-nafs), terpeliharanya keturunan (hifdl al-nasl), terjaganya harta (hifd al-mal), lurusnya akal pikiran (hifd al-'aql), dan lestrainya kehormatan (hifdl al-ardl). Oleh karena itu, Pancasila harus menjadi perisai yang memerdekakan diri, bukan instrumen eksploitatif ataupun momok yang setiap saat dipandang sebagai ancaman.

Sehingga pada gilirannya, wacana publik akan terhindar dari serangkaian isu dan polemik ideologis, semisal kebangkitan ideologi komunis dan khilafah pada hampir setiap peringatan Hari Lahir Pancasila menjelang. Perbincangan ideologis kiranya cukup ditempatkan pada latar sejarah. Selebihnya, ia adalah pandangan hidup yang sejatinya mewarnai pikiran kita dalam mengarungi belantara kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di tengah suasana pandemi, pandangan hidup tersebut sedang diuji. Jika sebelumnya kelima sila Pancasila kokoh dari terjangan dan ancaman dari luar, maka saat ini kesaktiannya kembali membutuhkan pembuktian. Bukan di hadapan musuh ideologis, tapi musuh yang seringkali merenggut kepedulian untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan. (mmu-detik)

Muhammad Adlan Nawawi pengajar Program Pascasarjana PTIQ Jakarta

Info terkait : Pancasila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di www.goasianews.com, Terima kasih telah berkunjung.. Semoga anda senang! Tertanda Pemred:
-->