Goasianews.com
Jakarta - Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang negatif selama dua triwulan berturut-turut resmi memasukkan Indonesia pada jurang resesi, di mana Indonesia mencatat pertumbuhan negatif pada kuartal II 2020 sebesar 5,32 persen dan pada kuartal III 2020 mencapai minus 3,49 persen.
Melambatnya perekonomian Indonesia disertai memburuknya indikator sosial ekonomi seperti pengangguran, tingkat kemiskinan, dan ketimpangan. Tingkat pengangguran terbuka Indonesia meningkat dari 5,23% pada Agustus 2019 menjadi 7,07% pada Agustus 2020 dan bahkan terdapat beberapa provinsi yng tingkat penganggurannya menjadi 2 digit di masa pandemi, seperti DKI Jakarta sebesar 10,95% dan Banten 10,64%.
Sementara itu, tingkat kemiskinan perkotaan Indonesia pada Maret 2020 sama seperti tingkat kemiskinan pada 2,5 tahun yang lalu. Seorang Profesor yang ahli di bidang ekonomi, Prof Arief mengatakan upaya pemberantasan kemiskinan selama 2,5 tahun menghilang begitu saja. "Berbeda dengan pengangguran dan kemiskinan, kesenjangan belum tentu semakin timpang dengan terjadinya resesi karena masih belum diketahui dengan pasti besaran dampak untuk setiap kelompok masyarakat," katanya.
Jika menilik krisis 1998, ketimpangan malah berkurang karena masyarakat di pedesaan yang pencaharian utamanya di bidang pertanian tidak mengalami gangguan dari sisi permintaan menimbang konsumsi pangan masih dibutuhkan. Sementara itu, masyarakat berpendapatan tinggi adalah kelompok yang lebih terpukul karena kelompok ini yang menyimpan dollar.
Namun, resesi akibat pandemi belum tentu berdampak serupa karena ketiadaan permintaan dan penawaran sebagai akibat pemberlakuan pembatasan sosial sehingga resesi berdampak yang beragam pada berbagai kelompok pendapatan. Meskipun mengalami resesi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif cukup baik dibandingkan negara-negara lain.
“We get what we deserve. Kenapa Italy pertumbuhan ekonominya -20%? Karena lockdownnya yang ketat. Kenapa Indonesia pertumbuhan ekonominya lebih baik? Karena tidak ada pemberlakuan full lockdown di Indonesia," lanjutnya.
Atas dasar hal tersebut, penting untuk masyarakat dan pemerintah agar tidak hanya berfokus pada perbandingan angka pertumbuhan ekonomi dengan negara lain. Tetapi, sebaiknya Indonesia menjadikan ini kesempatan untuk tidak hanya belajar dari pengalaman negara lain, melainkan juga mengevaluasi diri dan belajar dari pengalaman sendiri, misalnya dalam hal bantuan sosial.
Saat ini, menurut Prof. Arief, database yang digunakan untuk bantuan sosial masih menggunakan database tahun 2015, di mana bisa jadi mereka yang miskin pada tahun 2015 sudah tidak miskin lagi sekarang, begitu pula sebaliknya. Maka, meskipun bantuan sosial sudah disalurkan, banyak orang masih berteriak meminta bantuan. Selain itu, pekerja informal juga belum terdaftar sebagai penerima bantuan di database.
"Dari pandemi ini kita jadi paham bahwa database penerima bantuan sosial harus di update dan diperbaiki. Di sisi lain, berubahnya cara kita bekerja merupakan pembelajaran lain dari pandemi. Pergeseran cara kerja akan terjadi di sektor manapun tanpa terkecuali, termasuk pada sektor UMKM. Maka, pandemi ini harus menjadi momentum agar UMKM dapat meningkatkan teknologinya supaya dapat tetap bertahan dan kompetitif," jelasnya.
Tentu yang diharapkan adalah pemerintah dapat membantu capacity building agar orangnya (UMKM) dapat adapt dengan teknologi dan infrastruktur internet. Lalu, bagaimana cara agar pertumbuhan ekonomi membaik? Jelas, kunci untuk keluar dari resesi berada pada variabel kesehatan. Apabila orang-orang masih terus membatasi diri untuk keluar rumah, tidak mungkin terjadi full recovery dalam perekonomian karena terhambatnya proses transaksi antara penjual dan pembeli.
Ibarat krisis kesehatan adalah api dari permasalah ini, solusinya adalah apinya harus dipadamkan terlebih dahulu. Upaya pemerintah untuk menekan penyebaran virus masih harus dimaksimalkan, seperti meningkatkan testing rate di Indonesia yang sampai saat ini masih rendah. Pemerintah tidak bisa hanya berharap pada vaksin, karena dari proses produksi vaksin dan uji klinisnya hingga proses distribusi vaksin tentu akan memakan waktu yang cukup panjang.(Merinda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar