GoAsianews.com
Padang,(SUMBAR) - Dalam rangka memperingati Hari HAM 10 Desember 2021, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mendesak Gubernur Sumbar untuk mendengarkan keluh kesah korban perampasan lahan dengan harapan Gubernur dan jajaran hadir untuk memulihkan hak atas tanah masyarakat yang massif terjadi di Sumatera Barat.
Direktur LBH Padang., Indira Suryani melalui Kepala Bidang Agraria dan Lingkungan., Diki Rafiqi mengatakan, bahwa sesungguhnya pemenuhan hak atas tanah adalah perwujudan hak atas hidup berdasarkan penjelasan umum PBB No. 36. Perampasan ruang dan sumber-sumber penghidupan sebagai pelanggaran terhadap hak atas hidup.
Tanah adalah sumber penghidupan rakyat dan tanah seringkali menjadi satu satunya sumber penghidupan bagi masyarakat. Mana kala sumber penghidupan itu dirampas, maka mereka kehilangan kesempatan hidup yang layak, ucap Diki Rafiqi.
Seketika itu pula telah terjadi pelanggaran terhadap hak atas hidup. Berdasarkan data monitoring LBH Padang, selama tahun 2021 ini menunjukkan telah terjadinya pelanggaran hak hidup dan perampasan tanah pada ±4563 orang dan ±1521 keluarga di 3 kabupaten (Kabupaten Agam, Kabupaten Solok Selatan, dan Kabupaten Pasaman Barat) Provinsi Sumatera Barat, ujar Diki.
Luasan, lanjut Diki, lahan yang berkonflik mencapai ±5966 Ha. Data ini di ambil dari 6 titik konflik masyarakat dengan perusahan perkebunan sawit diantaranya :
1. Masyarakat Kapa, Pasaman Barat Dengan PT Permata Hijau Pasaman 1
2. Masyarakat Bidar Alam dengan PT Ranah Andalas Plantation
3. Masyarakat Sungai Aua dengan PT Karya Agung Megah Utama
4.Masyarakat Kinali dengan PT Perkebunan Nusantara VI Pasaman Barat
5. Masyarakat Aia Gadang dengan PT Anam Koto Pasaman Barat
6. Masyarakat Koto Gadang Jaya dengan PT Lintas Inter Nusa Pasaman Barat.
Latar belakang konflik yang terjadi di 6 titik ini, memiliki kemiripan Permulaan konflik perkebunan ini berasal dari tidak berjalannya prinsip FPIC (Free, Prior, Inform, Consent) atau persetujuan awal kepada masyarakat dan masyarakat adat, terang Diki.
Selain itu, di Nagari Bidar Alam dan Ranah Pantai Cermin, PT Ranah Andalas Plantation (RAP) ingkar terhadap perjanjian yang disepakati ke masyarakat dengan metode pembagian hasil 40-60%, jelas Diki.
Sedangkan di Nagari Aia Gadang, Kabupaten Pasaman Barat pemicu konflik karena tidak adanya direalisasikan Plasma dari PT Anam Koto kepada masyarakat sekitar. Berbeda dengan halnya yang terjadi di Nagari Sungai Jariang, Kabupaten Agam, dahulu disaat melakukan pembangunan kebun pihak perusahaan diduga pembekingan militer untuk menrepresi pemilik tanah, papar Diki kepada awak media, Jum'at (10/12/21).
Berdasarkan informasi yang kami terima, proses pembangunan kebun sawit di Sumatera Barat dipenuhi dengan cerita penindasan dan represi oleh aparat, tutur Diki.
"Masyarakat terus diintimidasi, ditangkap, ditahan dan dikriminalisasi hingga dipaksa kalah untuk memperjuangkan hak atas tanahnya. Lalu pemerintah menerbitkan IUP (Izin Usaha Perkebunan), dan HGU (Hak Guna Usaha) dengan segala penindasan yang terjadi hingga konflik berkepanjangan terjadi bertahun-tahun," kata Diki dengan tegas.
Diki menambahkan, bahwa pandemi dan Konflik Perkebunan ditengah serangan pandemi Covid-19 yang terjadi dari bulan Maret Tahun 2020 lalu, mengakibatkan penurunan mobilitas masyarakat yang berbanding lurus dengan tingginya angka konflik perkebunan.
Konflik ini mengakibatkan adanya usaha-usaha untuk membungkam masyarakat dengan cara-cara kriminalisasi. Dimana kami mencatat terdapat 3 daerah telah terjadi kriminalisasi kepada 7 orang (3 orang dipidana, dan 4 orang masih proses sidang) dan masih ada 2 laporan polisi yang masih berjalan, imbuh Diki.
Hal ini berbanding terbalik dengan penegakan hukum kepada perusahaan yang sampai saat ini tidak ada ditindak lanjuti. Padahal ada beberapa laporan masyarakat dan di PT RAP yang tidak memiliki izin tapi masih tetap beroperasi, tegas Diki.
Selain itu, adanya dugaan pembekingan terjadi, di PT RAP adanya beberapa personil Polri diturunkan disana dan bahkan saat ini masyarakat KAPA diduga terancam represi aparat pasca masyarakat melakukan reclaiming haknya dan bertanam ditanah reclaimingnya, sebut Diki.
Situasi ini didasari kesulitan ekonomi masyarakat di masa pandemi Covid-19 yang mendorong masyarakat berjuang sendirian untuk memulihkan haknya tanpa support dari pemerintahan, kata Diki lagi.
Ditengah ketidakpastian ekonomi pada hari ini, ditambah dengan adanya rentannya masyarakat dikriminalisasi akibat konflik ini, LBH Padang mendesak Pemerintahan Provinsi Sumatera Barat untuk :
1.Menyelesaikan konflik tanah antara Masyarakat dan Perusahaan Perkebunan Sawit di Sumatera Barat sesegera mungkin.
2.Membentuk tim penyelesaian konflik tingkat provinsi.
3.Melakukan review izin perusahaan perkebunan sawit di Sumatera Barat.
4.Memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar aturan.
5.Mendorong penegakan hukum kepada perusahaan yang melanggar hukum.
Selamat HARI HAM bagi semua rakyat yang berjuang. Teruskan perjuangan dan reklaim HAM kita, tutup Diki.
(Ferdi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar